Dari segi kemampuan, harus diakui bahwa ShinMaywa US-2 adalah rajanya operasi amfibi dengan kemampuan STOL (Short Take Off and Landing) yang mengagumkan, terutama ke dan dari permukaan air. Dengan kemampuan STOL tersebut, ShinMaywa menjadi sangat versatile, dapat memanfaatkan alur dan badan air yang sempit seperti sungai dan danau yang lebih pendek dibandingkan dengan Be-200. Kemampuan angkut airnya untuk operasi pemadaman api juga lebih tinggi, 15 ton air dan retardant, yang artinya dibutuhkan sorti yang lebih sedikit atau kualitas utilitas yang lebih tinggi yang berujung pada efisiensi biaya operasional.
Kemampuan ShinMaywa US-2 untuk beroperasi dari kondisi laut yang diamuk gelombang tinggi menjadi titik kritis, mengingat tipikal lautan di Indonesia Timur yang cenderung bergelombang tinggi pada bulan-bulan tertentu. Ini tentu saja akan menjadi kelemahan bagi Be-200 yang hanya sanggup mendarat pada perairan dengan tinggi gelombang maksimal 1,2 meter, yang tentu berpotensi mengaramkan ide mimpi penggunaan pesawat amfibi untuk penegakan hukum di lautan.
Di sisi lain, walaupun sepintas ShinMaywa US-2 masih menggunakan mesin turboprop, ternyata untuk kecepatan jelajah masih bisa mengimbangi Be-200, dengan selisih hanya 70-80 km/ jam. Itupun dibayar lunas dengan jarak operasi ShinMaywa US-2 yang dapat mencapai 2x lipat dari jarak jelajah yang dapat dicapai oleh Be-200. Terbang lebih jauh, lebih lama, dan endurance tinggi, bukankah ini yang dicari apabila pesawat amfibi hendak dijadikan sebagai pesawat patroli maritim?
Stall speed US-2 yang sangat rendah, hanya 90 km/ jam, sehingga handling dan stabilitas US-2 juga lebih baik. US-2 yang menggunakan empat mesin juga memiliki margin of safety yang lebih baik untuk operasi di lautan, dimana kerusakan satu mesin masih dapat dibackup oleh tiga mesin lainnya dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan operasinya. Bandingkan dengan Be-200 yang hanya memiliki dua mesin. Kehilangan satu mesin berarti hilangnya 50% power, yang berakibat fatal apabila tidak ada pangkalan terdekat untuk recovery.
Jika Be-200 bisa memukul balik, itu ada pada faktor daya angkut yang lebih tinggi, karena US-2 membutuhkan space besar untuk memasang sistem waterjet untuk spray supressor yang mencegah air terhisap oleh mesin. Be-200 dapat membawa komplemen pasukan setara satu kompi, cocok jika TNI AU bercita-cita membawa Paskhas bersenjata lengkap untuk menangkapi kapal penangkap ikan ilegal, walaupun secara teknis Paskhas tidak menguasai ilmu VBSS (Visit Board Search Seizure) yang merupakan keahlian asasi pasukan khusus dari TNI AL seperti Kopaska.
Be-200 juga memiliki banderol harga yang murah. Dalam sistem pengadaan alutsista yang mengutamakan harga yang murah, murah, dan murah sebagai prioritas, Be-200 dapat memenangkan persaingan walaupun secara performa mayoritas lebih inferior dari US-2. Namun patut juga diingat, belajar dari India yang mengakuisisi US-2, Jepang rela membagi kontrak offset nyaris 50% dari nilai kontrak senilai 1,65 miliar USD, plus ditambah seluruh pesawat akan dirakit dalam lini perakitan di India. Ini berarti merupakan transfer of technology yang sangat berarti, bukan yang sekedar memenuhi persyaratan UU Indhan. Apalagi Jepang sebagai negara donor selama ini dikenal kooperatif dan dapat diajak bicara mengenai proyek-proyek yang sifatnya strategis. Bukan tak mungkin tawarannya jauh lebih baik daripada India yang baru-baru ini saja mesra dengan Jepang.
Sementara bercermin dari pengadaan alutsista udara Rusia sebelumnya, kita sebagai negara mendapatkan apa sebagai imbal baliknya? Adakah transfer teknologi ke industri dirgantara dalam negeri yang berarti?
ShinMaywa sang Penakluk Samudera
Pembuktian kemampuan ShinMaywa US-2 yang melampaui spesifikasi pabriknya terjadi pada 21 Juni 2013, saat JMSDF (Japan Maritime Self Defense Force) menerima relay sinyal SOS dari yacht Eorasu Issue. Dua penumpangnya yaitu Jiro Shinbo (57) dan Kapten Mitsuhiro Iwamoto (46) menghadapi kondisi darurat ketika yachtnya menabrak karang dan terbalik. Keduanya mencoba menaklukkan rekor perjalanan lintas pasifik, dimana Iwamoto yang tuna netra ingin mencatatkan sebagai penyandang disabilitas yang memecahkan rekor lintas pasifik.
Jiro Shinbo yang bekerja sebagai pembawa berita dan Kapten Iwamoto berhasil mengeluarkan sekoci, namun dengan segera terombang-ambing ombak ganas akibat badai taifun yang mendekat. JMSDF yang menerima relay dari JCG (Japan Coast Guard) segera mengirimkan P-3C Orion ke posisi terakhir yang dilaporkan. Setelah P-3C menemukan sekoci tersebut, barulah ShinMaywa US-2 dikirim dari Atsugi.
Sorti pertama gagal karena kondisi ombak yang sangat ganas. Sorti kedua yang mendekati lokasi juga melaporkan hal yang sama, ombak setinggi empat meter, dengan angin bertiup kencang mencapai 40 knot. Kapal milik JCG bahkan tidak dapat mendekat saking tingginya ombak. Situasinya genting, dimana taifun yang mendekat berpotensi membawa celaka bagi kedua korban di dalam sekoci tersebut.
Kondisi semakin buruk saat hari menjelang sore. Dengan matahari mulai tenggelam di ufuk Barat, angin akan semakin menghebat. Pilot dan awak ShinMaywa US-2 dengan cermat menghitung segala kemungkinan dan peluang yang mereka miliki. Dengan ketelitian dan keberanian menjurus nekat, pesawat disejajarkan dengan sangat hati-hati ke arah gelombang dan didaratkan di tengah amukan gelombang. Badan pesawat bak meloncat ketika lambung pesawat menyentuh permukaan air. Sistem Boundary Layer Control pada US-2 dipaksa bekerja ekstrim pada kecepatan angin yang menggila, merusakkan satu mesinnya. Tak sempat memikirkan mesin yang rusak, awak US-2 dengan segera mengevakuasi sekoci, yang selesai pada pukul 18.15. Di tengah angin kencang, ShinMaywa US-2 berhasil lepas landas dengan kondisi kerusakan pada satu mesin (OEI- One Engine Inoperative) dan mendarat di Atsugi pada pukul 22.30.
ARC.
Kemampuan ShinMaywa US-2 untuk beroperasi dari kondisi laut yang diamuk gelombang tinggi menjadi titik kritis, mengingat tipikal lautan di Indonesia Timur yang cenderung bergelombang tinggi pada bulan-bulan tertentu. Ini tentu saja akan menjadi kelemahan bagi Be-200 yang hanya sanggup mendarat pada perairan dengan tinggi gelombang maksimal 1,2 meter, yang tentu berpotensi mengaramkan ide mimpi penggunaan pesawat amfibi untuk penegakan hukum di lautan.
Di sisi lain, walaupun sepintas ShinMaywa US-2 masih menggunakan mesin turboprop, ternyata untuk kecepatan jelajah masih bisa mengimbangi Be-200, dengan selisih hanya 70-80 km/ jam. Itupun dibayar lunas dengan jarak operasi ShinMaywa US-2 yang dapat mencapai 2x lipat dari jarak jelajah yang dapat dicapai oleh Be-200. Terbang lebih jauh, lebih lama, dan endurance tinggi, bukankah ini yang dicari apabila pesawat amfibi hendak dijadikan sebagai pesawat patroli maritim?
Stall speed US-2 yang sangat rendah, hanya 90 km/ jam, sehingga handling dan stabilitas US-2 juga lebih baik. US-2 yang menggunakan empat mesin juga memiliki margin of safety yang lebih baik untuk operasi di lautan, dimana kerusakan satu mesin masih dapat dibackup oleh tiga mesin lainnya dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan operasinya. Bandingkan dengan Be-200 yang hanya memiliki dua mesin. Kehilangan satu mesin berarti hilangnya 50% power, yang berakibat fatal apabila tidak ada pangkalan terdekat untuk recovery.
Jika Be-200 bisa memukul balik, itu ada pada faktor daya angkut yang lebih tinggi, karena US-2 membutuhkan space besar untuk memasang sistem waterjet untuk spray supressor yang mencegah air terhisap oleh mesin. Be-200 dapat membawa komplemen pasukan setara satu kompi, cocok jika TNI AU bercita-cita membawa Paskhas bersenjata lengkap untuk menangkapi kapal penangkap ikan ilegal, walaupun secara teknis Paskhas tidak menguasai ilmu VBSS (Visit Board Search Seizure) yang merupakan keahlian asasi pasukan khusus dari TNI AL seperti Kopaska.
Be-200 juga memiliki banderol harga yang murah. Dalam sistem pengadaan alutsista yang mengutamakan harga yang murah, murah, dan murah sebagai prioritas, Be-200 dapat memenangkan persaingan walaupun secara performa mayoritas lebih inferior dari US-2. Namun patut juga diingat, belajar dari India yang mengakuisisi US-2, Jepang rela membagi kontrak offset nyaris 50% dari nilai kontrak senilai 1,65 miliar USD, plus ditambah seluruh pesawat akan dirakit dalam lini perakitan di India. Ini berarti merupakan transfer of technology yang sangat berarti, bukan yang sekedar memenuhi persyaratan UU Indhan. Apalagi Jepang sebagai negara donor selama ini dikenal kooperatif dan dapat diajak bicara mengenai proyek-proyek yang sifatnya strategis. Bukan tak mungkin tawarannya jauh lebih baik daripada India yang baru-baru ini saja mesra dengan Jepang.
Sementara bercermin dari pengadaan alutsista udara Rusia sebelumnya, kita sebagai negara mendapatkan apa sebagai imbal baliknya? Adakah transfer teknologi ke industri dirgantara dalam negeri yang berarti?
ShinMaywa sang Penakluk Samudera
Pembuktian kemampuan ShinMaywa US-2 yang melampaui spesifikasi pabriknya terjadi pada 21 Juni 2013, saat JMSDF (Japan Maritime Self Defense Force) menerima relay sinyal SOS dari yacht Eorasu Issue. Dua penumpangnya yaitu Jiro Shinbo (57) dan Kapten Mitsuhiro Iwamoto (46) menghadapi kondisi darurat ketika yachtnya menabrak karang dan terbalik. Keduanya mencoba menaklukkan rekor perjalanan lintas pasifik, dimana Iwamoto yang tuna netra ingin mencatatkan sebagai penyandang disabilitas yang memecahkan rekor lintas pasifik.
Jiro Shinbo yang bekerja sebagai pembawa berita dan Kapten Iwamoto berhasil mengeluarkan sekoci, namun dengan segera terombang-ambing ombak ganas akibat badai taifun yang mendekat. JMSDF yang menerima relay dari JCG (Japan Coast Guard) segera mengirimkan P-3C Orion ke posisi terakhir yang dilaporkan. Setelah P-3C menemukan sekoci tersebut, barulah ShinMaywa US-2 dikirim dari Atsugi.
Sorti pertama gagal karena kondisi ombak yang sangat ganas. Sorti kedua yang mendekati lokasi juga melaporkan hal yang sama, ombak setinggi empat meter, dengan angin bertiup kencang mencapai 40 knot. Kapal milik JCG bahkan tidak dapat mendekat saking tingginya ombak. Situasinya genting, dimana taifun yang mendekat berpotensi membawa celaka bagi kedua korban di dalam sekoci tersebut.
Kondisi semakin buruk saat hari menjelang sore. Dengan matahari mulai tenggelam di ufuk Barat, angin akan semakin menghebat. Pilot dan awak ShinMaywa US-2 dengan cermat menghitung segala kemungkinan dan peluang yang mereka miliki. Dengan ketelitian dan keberanian menjurus nekat, pesawat disejajarkan dengan sangat hati-hati ke arah gelombang dan didaratkan di tengah amukan gelombang. Badan pesawat bak meloncat ketika lambung pesawat menyentuh permukaan air. Sistem Boundary Layer Control pada US-2 dipaksa bekerja ekstrim pada kecepatan angin yang menggila, merusakkan satu mesinnya. Tak sempat memikirkan mesin yang rusak, awak US-2 dengan segera mengevakuasi sekoci, yang selesai pada pukul 18.15. Di tengah angin kencang, ShinMaywa US-2 berhasil lepas landas dengan kondisi kerusakan pada satu mesin (OEI- One Engine Inoperative) dan mendarat di Atsugi pada pukul 22.30.
ARC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar