Bagi anggota TNI Angkatan Udara nama Bob Freeberg mungkin tidak asing. Tetapi bagi sebagian rakyat Indonesia, mungkin pula banyak yang belum pernah mendengar namanya. Sejarah memang tidak mencatat nama laki-laki asli Amerika tersebut meski memiliki jasa besar dalam jagat penerbangan Indonesia.
“Tak pernah aku akan melupakan kawanku orang Amerika, Bob Freeberg,” begitulah kata Sukarno, presiden pertama Indonesia. Nama Bob memiliki arti khusus di hatinya. Namanya juga muncul di buku otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat menceritkan siapa Bob, Sukarno menirukan kalimat yang diucapkan pertama laki-laki itu kepadanya“Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan?”
Bob Earl Freeberg, anak petani yang berasal dari Parsons, Kansas, menjadi salah seorang penerbang asing yang melakukan penerbangan ke Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dia adalah mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat yang setelah Perang Dunia II bekerja sebagai pilot komersial di CALI (Commercial Air Lines Incorporated) Filipina. Dia jatuh cinta pada negara-negara dan budaya di Pasifik dan memutuskan untuk tak kembali ke Kansas.
Bob bisa terbang ke Indonesia berkat hubungannya dengan Opsir Udara III Petit Muharto Kartodirdjo, yang ditugaskan membuka jalur penerbangan Indonesia dengan luar negeri, baik untuk urusan politik maupun logistik. Pada Maret 1947, dipandu oleh Muharto, Bob melakukan penerbangan pertama ke Maguwo, Yogyakarta, dengan Dakota milik CALI Filipina. Setelah itu dia kembali ke Filipina, sembari membantu penerjunan pertama di Bukittinggi oleh Opsir Udara III Sudjono dan Opsir Muda Udara I Sukotjo. Tiga bulan kemudian, Bob kembali ke Indonesia. Sempat mendarat darurat di Pantai Cikalong, Tasikmalaya, Dakota C-47 miliknya sendiri yang diterbangkannya mendarat di Maguwo.
Bob amatlah bangga pada pesawatnya. Dia membeli pesawat itu dengan uang yang dia kumpulkan dari misi-misi komersialnya. Pesawat itu, sebuah pesawat kargo Dakota C-47 yang sudah tua, terdaftar di Republik Indonesia sebagai RI-002.
Hanya beberapa jam setelah tiba, Bob dan Muharto langsung berangkat dalam misi perdana. Mereka mengangkut 29 peti bubuk kina dan 11 peti biji vanila. “Kedatangan RI-002 di lapangan udara Makati, Manila, menjadi berita besar karena pesawat itu mendarat tanpa pemberitahuan sebelumnya…,” tulis Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia.
Legalitas penerbangan dan terutama kepemilikan muatannya ditentang konsul Belanda, yang menuntut tiga awak pesawat “orang Jawa” ditahan karena mereka warga Hindia Belanda. Tuntutan itu ditolak pemerintah Filipina. Setelah sebulan, kina dan biji vanila akhirnya diserahkan kembali kepada pihak Indonesia. “Ini merupakan permulaan dari apa yang disebut Bob sebagai penerbangan gelap (dark flight) RI-002,” tulis Gardner.
RI-002 juga menyelundupkan candu dari Pekanbaru ke Singapura. Idham Jatim, staf wakil Presiden Mohammad Hatta di Sumatra, pernah menjalankan misi ini bersama Bob. Di Singapura, candu dijual dan uangnya dimasukkan ke bank Hong Kong dan Shanghai. Suatu kali sejumlah uang diminta untuk ditransfer ke Birma dan India guna membiayai latihan sejumlah perwira AURI. “Di mata saya, Bob ini adalah seorang yang paling tenang dan berani, penuh dedikasi pada tugasnya. Dia seorang pilot Amerika yang penuh idealisme. Jasa-jasanya untuk perjuangan Indonesia sungguh besar. Dia pantas disemati Bintang Gerilya,” tulis Idham tentang pengalamannya seperti termuat dalam antologi Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950 karya Kustiniyati Mochtar.
Misi penting lain Bob adalah mengirimkan pasukan penerjun ke Kalimantan yang diduduki NICA. Bob juga menerbangkan delegasi Indonesia ke konferensi UN ECAFE (United Nations Economic Commission for Asia and the Far East) di Baguiyo Filipina, pada 23 Desember 1947. ECAFE merupakan badan khusus PBB yang berpusat di Bangkok, Thailand, dengan tujuan memperoleh pengakuan atas kemerdekaan negara-negara di Asia dan Timur Jauh. Setelah itu, RI-002 kembai ke Maguwo, dan lepas landas lagi ke Manila pada 29 Desember 1947 untuk mengirimkan sebuah peti mati misterius, yang menjadi buah bibir di media massa Singapura.
“Ada yang mengatakan, peti mati itu berisi barang selundupan seperti emas dan candu. Ada pula yang menduga peti itu berisi jenazah Presiden Sukarno, Tan Malaka, atau tokoh nasional yang lain,” tulis Darry Salim, dalam buku Riwayat Operasi Speedboat Seputar Singapura,” dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950.
Ternyata, peti itu berisi jenazah seorang perwira Filipina, Kapten Ignacio Espina, mantan pejuang gerilya melawan pendudukan Jepang di Filipina selama Perang Dunia II, yang menghadiahkan sebuah Tommy-gun (submachine Thompson) berplat krom untuk Sukarno. Karena tak punya pesawat, KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Tak ada cara lain selain menggalang dana. Upaya ini langsung dipimpin Sukarno. Bob kemudian menerbangkan Presiden Sukarno ke Sumatra selama sebulan. “Kunjungan dalam rangka mencari dana ini merupakan kunjungan presiden pertama ke luar Jawa,” tulis Gardner.
Pada 16 Juni 1948, di Hotel Kutaraja, Sukarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh yang menyumbangkan 20 kg emas. Dana dari rakyat Aceh digunakan untuk membeli pesawat Dakota VR-HEC dari India dan diberi registrasi RI-001.
Penerbangan terakhir
Dini hari, 1 Oktober 1948 pesawat RI-002 lepas landas meninggalkan Pangkalan Udara Maguwo dengan tujuan Bukittinggi. Rute yang ditempuh adalah; Maguwo-Gorda-Tanjung Karang-Bukittinggi. Menurut rencana pesawat akan meneruskan ke luar negeri untuk membeli pesawat baru dengan mengangkut 20 kg emas murni.
Seperti tertulis dalam buku Sejarah Operasi Penerbangan Indonesia periode 1945-1950 yang diterbitkan Dinas Sejarah TNI AU, RI-002 waktu itu diterbangkan pilot Robert Earl Freeberg alias Bob. Sedangkan co-pilot adalah Opsir Udara Bambang Saptoadji, engineer Opsir Muda Udara I Sumadi, dan radio operator Sersan Udara Suryatman.
Selama penerbangan, beberapa kali RI-002 berhubungan dengan stasiun radio udara atau call sign PCI di Sagan, Yogyakarta. Saluran radio ini dikenal dengan Aeradio, yaitu hubungan radio antara pesawat dengan stasiun radio di darat. Waktu itu radio dijaga oleh Sersan Mayor Udara Sumarno.
Komunikasi antara RI-002 dengan stasiun radio dilaporkan berjalan lancar hingga Tanjung Karang. Tetapi kenyataannya, hubungan radio antara pesawat dengan stasiun radio baik di Jawa maupun di Sumatera tidak berjalan baik. Sesuai prosedur, seharusnya komunikasi dilakukan secara periodik dengan jangka waktu satu jam setelah lepas landas. Namun itu tidak terjadi.
Sersan Mayor Sumarno beberapa kali memerintahkan RI-002 agar stand-by dan sewaktu-waktu, tetapi tidak ada jawaban. Sehingga sejak saat itu pesawat angkut sewaan itu dianggap hilang beserta para penumpang. RI-002 selama melaksanakan penerbangan tidak pernah disergap pesawat Belanda, meskipun dalam salah satu penerbangan ke Sumatra pernah kesasar karena cuaca buruk.
Surat kabar di Belanda ramai memberitakan hilangnya pesawat itu karena disergap pesawat Belanda. Namun pemerintah kolonial itu tidak pernah membenarkan atau membantah. Dengan demikian AURI menyatakan RI-002 dinyatakan hilang, dan tidak diketahui sebab musababnya.
Belanda akhirnye mengakui pesawat tempur B-25 Belanda menyergap RI-002 di atas Sumatra Selatan. RI-002 melakukan manuver mengelak dengan terbang pada ketinggian pucuk-pucuk pohon, namun menabrak sebuah pohon dan jatuh.
Tidak banyak informasi mengenai nasib Bob bersama pesawat dan awak pesawatnya. Sampai tahun 1951, tepatnya sampai orang tua Bob, W.R. Freeberg, menulis surat kepada Presiden Soekarno, belum ada kepastian nasib Bob Freeberg. Dengan berbagai cara, pemerintah RI mencoba melacak keberadaan Bob.
Setelah 30 tahun hilang, baru pada 14 April 1978 reruntuhan pesawat beserta kerangka jenazah ditemukan seorang penduduk yang hendak mencari kayu bakar di pegunungan Sumatera Selatan. Hal itu dibuktikan dengan penemuan kepingan bekas sayap pesawat yang telah disusun kembali bertuliskan RI-002. Kerangka jenazah sudah tidak bisa dikenali. Akhirnya, secara simbolik mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang dalam rangka peringatan Hari Bhakti TNI AU pada 29 Juli 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar