Pada 1960-an, TNI Angkatan Udara memiliki arsenal udara yang ditakuti di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik berbasiskan jet tempur MiG-15 hingga MiG-21, pengebom Tu-16, peluru kendali, pesawat intai Gannet, dan pesawat transpor C-130 Hercules. Namun, kekuatan itu kemudian lenyap seiring dengan pembersihan militer oleh penguasa Orde Baru.
Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, mengatakan, semasa awal 1970-an hingga akhir 1970-an, bisa dikatakan kekuatan udara Indonesia nyaris lumpuh karena ketiadaan suku cadang akibat terganggunya hubungan dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Di dalam negeri, konsolidasi kekuatan rezim Soeharto yang berbasiskan TNI Angkatan Darat berusaha meredam kekuatan Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang dikenal memiliki banyak elemen pendukung rezim Soekarno.
“Pesawat MiG-21 akhirnya di-grounded setelah terjadi beberapa kali kecelakaan. Sesudah itu, pada 1970-an sempat didatangkan hibah pesawat F-86 Sabre eks RAAF Australia dan pesawat latih T-33 dari Amerika Serikat untuk menjaga kemampuan terbang para penerbang TNI AU. Kondisi memang sangat memprihatinkan ketika itu. Pada Operasi Seroja di Timor-Timur 1976 masih dioperasikan pesawat tua, termasuk B-25 Mitchell dan pesawat-pesawat tua Dakota untuk mendukung operasi tempur,” kata Didi.
Akhirnya, menjelang dekade 1970-an, meski ada tekanan internasional terkait dengan operasi militer di Timor-Timur, Soeharto berhasil meyakinkan Amerika Serikat untuk mendapat dukungan persenjataan, termasuk jet-jet tempur.
Hadirlah jet tempur yang ditampilkan dalam parade Hari ABRI pertama kali-dan belum pernah terulang-di Jalan Tol Jagorawi, 5 Oktober 1980, jet tempur F-5E yang dibeli baru dari Amerika Serikat dan jet tempur A4-E Skyhawk (Skuadron Udara 11) bekas pakai yang dibeli dari Israel hasil Operasi Alpha yang diungkap dalam buku terbitan TNI AU, Elang Tanah Air di Kaki Lawu: Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi, 1939-2003.
F-5E dirancang sejak medio 1950-an oleh pabrikan Northrop. Pesawat dengan persenjataan dua kanon 20 milimeter M39 serta bom dan rudal AIM-9 Sidewinder yang legendaris.
Pesawat-pesawat F-5E Tiger datang dengan diangkut pesawat angkut raksasa C-5A Galaxy yang mendarat di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur, 21 April 1980. Teknisi Amerika Serikat melatih teknisi TNI AU. Pelatihan kepada penerbang TNI AU di Amerika Serikat dimulai dengan kehadiran mereka sejak 5 Desember 1979 dan 19 Januari 1980 di Lanud Williams di Negara Bagian Arizona. Sebanyak 16 unit atau satu skuadron penuh F-5E dimiliki TNI AU.
Operator F-5E adalah Skuadron Udara 14 yang sebelumnya mengoperasikan MiG-21 (1962-1970) dan F-86 Sabre (1974-1980). F-86 Sabre dikenal kiprahnya dalam Perang Korea (1950-1953) dan F-5E Tiger termasyhur dalam Perang Vietnam yang dioperasikan Amerika Serikat dan sekutunya, Vietnam Selatan.
Wakil Asisten Operasi KSAU Marsekal Pertama Yuyu Sutisna, yang lama mengawaki F-5E Tiger, mengaku, pesawat tersebut membutuhkan keahlian khusus untuk mengendalikannya karena kecepatannya tinggi. “Bentuknya sangat ramping sehingga kecepatannya tinggi dan harus pas mengatur pendaratan. Sangat mudah terjadi over shoot-melewati pendaratan-sehingga pesawat celaka,” kata Yuyu yang sempat berlatih dengan sesama penerbang F-5E Tiger dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Memang, bentuk fuselage- badan pesawat Tiger-mirip dengan F-104 Starfighter yang dijuluki “widow maker” karena sering mengalami kecelakaan yang menewaskan penerbang yang mengawaki Starfighter, lama digunakan negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Secara fisik, pesawat berbentuk mirip pensil terbang yang memiliki panjang 14,45 meter dan lebar bentang sayap 8,13 meter itu memiliki kecepatan terbang 940 knot atau 1,5 kali kecepatan suara!
Tulang punggung
Yuyu mengisahkan, dirinya mengalami era transisi F-5E yang mengalami modernisasi ibarat dari sistem analog ke digital yang serba terkomputerisasi. Ketika itu, KSAU Marsekal Rilo Pambudi, seusai mengunjungi Pameran Dirgantara Le Bourget di Paris, Perancis, berniat mengadakan upgrading pesawat F-5E yang sudah 13 tahun dioperasikan TNI AU. Program modernisasi Tiger tersebut diberi nama “MACAN” yang merupakan singkatan dari Modernisation of Avionics Capabilities for Armament and Navigation. Pemenang kontrak adalah SABCA, sebuah perusahaan Belgia. Pada 1995, dialokasikan waktu 18 bulan untuk memodernisasi F-5E Tiger.
Namun, dalam buku Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi diungkapkan, ada kendala pembuatan konfigurasi sistem avionik yang ditargetkan selesai dalam tujuh bulan ternyata terlambat hingga hampir dua tahun baru selesai. “Saya adalah salah satu penerbang yang menguji dan menerbangkan pesawat program MACAN tersebut. Pesawat ini unik, bisa start scramble dengan satu mesin, lalu menjelang take off menyalakan mesin kedua,” kata Yuyu Sutisna.
Modifikasi yang dilakukan mencakup radar warning receiver, inertial navigation unit, pilot display unit, dan sistem airborne video camera recorder (AVCR). Sistem baru tersebut bisa mendeteksi ancaman rudal ataupun arah radar lawan secara 360 derajat. Salah satu yang berkesan dalam mengoperasikan F-5E Tiger, menurut Yuyu Sutisna, adalah ketika dirinya dalam satu flight (empat pesawat) terjebak awan badai (Cumulonimbus) di atas perairan Laut Jawa di utara Cirebon saat terbang ferry dari Pekanbaru ke Lanud Iswahjudi, Madiun.
“Selama tiga-empat menit kami terjebak Cumulonimbus. Bahkan, pesawat yang diterbangkan Errys Heryanto dihantam petir di bagian ekor. Pesawat anjlok dari ketinggian 37.000 kaki (10,6 kilometer) ke 13.000 kaki (4.000 meter). Kami tidak bisa saling berkomunikasi dan saling menjaga heading arah pesawat agar tidak bertabrakan,” kata Yuyu. Akhirnya, flight F-5E itu bisa lolos dari perangkap Cumulonimbus.
Modernisasi MACAN sempat terhenti karena embargo Barat terhadap rezim Orde Baru pasca Mei 1998. Meski demikian, para teknisi TNI AU akhirnya berhasil melakukan modernisasi MACAN mengacu pada pesawat yang sudah diselesaikan oleh Belgia.
Semasa Perang Dingin dan puncak kekuasaan Orde Baru pada 1980-an hingga 1990-an, F-5E Tiger menjadi tulang punggung kekuatan dirgantara yang terlibat dalam pelbagai operasi, termasuk menjaga Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Jakarta pada 1992 hingga misi gila, yakni merekam penembakan rudal Harpoon yang dilakukan Mayor Dradjad Rahardjo dan Letda Agung Sasongkojati sebagai juru kamera. F-5E mereka terbang dengan kecepatan 0,93 Indicated Mach Number atau 1.000 kilometer per jam membuntuti rudal Harpoon. Peristiwa itu terjadi pada 3 November 1989.
Purna tugas
Saat ini, F-5E Tiger TNI AU memasuki masa purna tugas dan ada beragam pilihan jet tempur, seperti Rafale buatan Perancis, Sukhoi 27 atau Sukhoi 30 buatan Rusia, serta Saab JAS 39 Grippen buatan Swedia.
Sementara itu, para penerbang senior yang dilahirkan dari F-5E Tiger, di antaranya adalah Marsekal Madya (Purn) Errys Heryanto dan Marsekal (Purn) Djoko Suyanto. Djoko Suyanto kemudian menjadi Panglima TNI dan selanjutnya menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua (2009-2014). (Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar